Dalam debat terakhir calon presiden semalam (4/2/2023) soal pendidikan, kita berharap ada pembahasan tentang pendidikan etika. Sayangnya, hingga debat berakhir topik penting ini luput dalam perdebatan.
Soal etika banyak disoroti setelah adanya putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait lolosnya putera sulung Presiden Jokowi yaitu Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024. Putusan MK tersebut dianggap ada pelanggaran etik berat sehingga Ketua MK Anwar Usman dipecat sebagai ketua MK.
Menjelang hari pencoblosan pada 14 Februari 2024 yang tinggal beberapa hari ini masalah etika kembali banyak disorot. Hal ini terutama setelah muncul pernyataan dari Presiden Jokowi bahwa presiden dan termasuk para menteri boleh berkampanye dan boleh berpihak pada pasangan calon presiden. Pernyataan ini telah menimbulkan kecaman dari masyarakat, dan yang paling keras datang dari berbagai kampus dan perguruan tinggi.
Tidak tanggung-tanggung yang menyesalkan pernyataan presiden itu terdiri dari para guru besar dan pengajar dari kampus terpandang seperti dari Universitas Indonesia (Jakarta), Universitas Gajah Mada (Jogja), Universitas Pajajaran (Bandung), Universitas Islam Negeri Syarif (UIN) Hidayatullah Jakarta, Universitas Hasanuddin (Makassar), Universitas Islam Indonesia (Jogja), Unisba (Bandung) dan lainnya.
Persoalan etika yang disorot selain putusan MK yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka, juga kecenderungan yang melihat presiden diduga berpihak pada paslon tertentu. Hal ini tentu dihubung-hubungkan orang dengan putera presiden Gibran Rakabuming Raka yang ikut berkontestasi dalam pilpres sebagai cawapres Prabowo, paslon nomor urut 2.
Selain hal tersebut di atas juga adanya politisasi bansos atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang begitu gencar dibagikan jelang pada masa kampanye ini kepada rakyat, baik oleh presiden, maupun para menterinya yang merupakan bagian dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) dimana Prabowo dan Gibran adalah pasangan yang didukung, menunjukkan agar masyarakat memberikan suaranya atau memenangkan paslon yang dijagokannya pada Pilpres 2024 ini. Di sini netralitas presiden kembali dipertanyakan.
Melihat praktek demokrasi yang mengalami "penurunan kualitas" seperti sekarang ini--bahkan seperti dikatakan Jusuf Kalla, mantan wapres dua kali-- bahwa inilah pilpres dan pemilu terburuk sepanjang yang ia ikuti selama ini, menunjukkan bahwa persoalan etika menjadi sangat penting dibicarakan. Etika, terutama etika politik mengalami ketergerusan dan kemerosotan saat ini.
Etika, tentunya sangat penting dalam kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara. Demokrasi yang sehat di mana asas-asas fair play, kejujuran, keadilan (jurdil dalam pemilu dan pilpres) dan kepatuhan pada hukum harus tumbuh dan berkembang dengan baik. Etika yang tidak diperdulikan dan hanya semata mengejar kekuasaan dan jabatan, hanya akan menimbulkan kehidupan politik yang tidak stabil. Kekacauan dan chaos akan mudah terjadi. Sebab, bila kekuasaan diraih dengan cara yang tidak beretika, maka pemimpin akan mengalami defisit legitimasi dan tidak mendapat pengakuan dari masyarakat. Ini bisa menjadi bibit disintegrasi dan goyang serta rapuhnya bangsa ini.
Kita berharap warning yang disampaikan para guru besar perguruan tinggi kepada Presiden Jokowi agar kembali pada koridor hukum dan menjadikan pemimpin sebagai tokoh teladan dan panutan bagi rakyat dan masyarakat perlu direnungkan dengan baik.
Etika yang dipegang dengan kuat bisa menjadi faktor utuh dan kuatnya sebuah bangsa, sebaliknya etika yang lemah dan moralitas yang tidak dipegang dengan baik, bisa mengundang pecahnya persatuan bangsa yang berujung bubarnya negara.